Menerima Bahwa Aku Bukan Teman Curhat Pemberi Solusi Tepat
Salah satu teman dekatku, Isti, pernah bilang kalau aku dan Afifah cocok didatangi ketika seseorang ingin curhat dan mendapat dukungan atau dibesarkan hatinya. Kalau ingin curhat untuk mendapatkan solusi permasalahan, maka Denintalah orang yang tepat. Aku belum sadar saat itu, namun sepertinya aku tidak terima dengan penilaian tersebut (biarpun pernyataannya memang benar hehe). Menurutku, seseorang yang bagus untuk dicurhati adalah pendengar yang baik, support system yang bisa diandalkan, dan bisa memberikan solusi serta saran mumpuni. Mulai lagi deh, kebiasaanku yang menuntut terlalu tinggi.
Sejak saat itu, setiap kali orang datang untuk curhat
padaku, aku selalu mencoba mempersiapkan diri sebaik mungkin layaknya orang
yang berprofesi jadi konsultan. Aku bertekad untuk mencari celah dari
permasalahan yang dibawa setiap teman curhat dan menawarkan saran yang bisa
membantu mereka. Aku baru sadar pas menulis ini, tapi kalau begitu niatku jadi
tidak murni untuk membantu teman ya. Aku malah menjadikan curhat seseorang
sebagai ajang untuk mengukur “keberhasilanku” ckck.
Dampaknya yaaa… mungkin ada sedikit peningkatan dari kondisi
sebelumnya yang “tidak-bisa-memberi-solusi” menjadi
“lumayan-bisa-memberi-solusi”. Bukan tanpa pengorbanan sayangnya. Karena telalu
fokus ingin memberi feedback sebagus
mungkin, ketika orang cerita, aku justru sibuk merancang respon di kepala.
Sejujurnya aku kurang bisa mendengar dan berpikir di saat bersamaan. Sejak dulu
pola belajarku adalah mendengar dan mengingat. Baru setelah mencatat informasi
yang kudapat, aku menelaah kembali perlahan-lahan. (Ini juga alasan kenapa
ajang debat itu sulit untukku. Aku perlu waktu untuk memproses argumen yang
masuk dan argumen sebagai respon). Akibatnya, saran yang kuberikan nampak dalam
namun setelah kulihat lagi sekarang, jawaban-jawabanku lebih seperti cerminan
“aku, pikiranku, dan diriku” dibandingkan “respon yang fokus pada masalah teman
curhatku.” Makanya setelah sesi curhat itu selesai, aku sering bertanya lagi ke
diri sendiri – sekaligus menyesal, “Apakah masukkan yang kuberikan tadi cukup
bagus? Atau justru enggak nyambung sama sekali?”
Lama-lama aku mulai ngeh, bahwa pernyataan Isti itu pada dasarnya
penilaian atas dasar pengamatan orang yang sudah mengenalku cukup lama. Tidak
ada maksud buruk dibaliknya, dan tidak ada sisi negatif dari isinya. Yang
membuatnya jadi terkesan buruk adalah persepsiku sendiri. Padahal, apakah
pandai memberi solusi lebih baik daripada pandai membesarkan hati, begitupun
sebaliknya? Kalau dilihat dari perspektif lain, bukankah Isti justru
menunjukkan potensi diriku yang sebenarnya bisa diolah menjadi kekuatan?
Bukankah jika sejak awal aku menerima bahwa “seorang Aritsa lebih cocok menjadi
teman curhat yang membesarkan hati, memberi dukungan, dan sekelebat saran
ringan dibandingkan teman curhat yang memberi solusi logis”, aku justru
terlepas dari beban ekspektasi untuk memberikan saran yang sempurna?
“Tapi kalau aku enggak menjadi teman curhat yang ngasih
solusi tepat, orang enggak akan curhat lagi padaku karena menurut mereka
sia-sia, kan?”
Itu dugaan awalku, tapi bukankah aku sendiri kalau curhat
juga pilih-pilih orang berdasarkan kebutuhanku? Kalau aku sekedar ingin didengar,
aku pergi ke A. Kalau aku ingin insight
yang objektif, aku pergi ke B. Kalau aku ingin merenung bersama-sama, aku pergi
ke C. Kalau aku ingin curhat sedih tapi enggak ingin mood-ku ikutan turun, aku
pergi ke D yang santai. Padahal seorang psikiater saja tidak bisa menjamin akan
cocok dengan semua kliennya (aku pernah baca kalau psikiater itu juga
cocok-cocokkan sama kliennya, makanya seseorang bisa gonta-ganti psikiater).
Apalagi aku yang anak biasa tanpa ilmu psikologi, kenapa menuntut diri untuk menjadi
teman curhat yang menguasai segala aspek mulai dari penyemangat sampai
konsultan?
Setidaknya aku tahu sekarang cara membawa diriku ketika ada
teman yang ingin curhat. Aku akan jadi pendengar yang baik dan fokus pada
ceritamu, dan akan berusaha sebisa mungkin meringankan hati serta pikiranmu.
Walaupun kamu jadi harus memasukkan nama orang yang pandai memberi solusi ke
daftar teman curhatmu selain aku hehe
Betul betul betul, kadang org curhat hanya butuh didengarkan. Respon spt ; oooh, hhmmm, ya ampuuun, atau astagfirulloooh. Itu sudah cukup menyenangkan. Toh kalau curhater butuh saran pasti dia bilang, "Menurut lo gimana?
BalasHapusSetuju sekali. Aku gak pernah merasa sedih sih waktu ada yang bilang curhat sama aku tuh gak dapet solusi tapi dapet ketawa, hanya sesekali pernah merasa sedih kalau orang gak curhat ke aku tapi curhat ke yang lain padahal kita deket. Tapi balik lagi seperti yang kamu bilang, kita pasti menyesuaikan pada siapa kita bercerita mengenai topik apa, bahkan dalam kehidupan sehari-hari sekalipun. Setiap orang memiliki spesialisasinya masing-masing.
BalasHapusYa ampun tsatsa, bener bangeeet maksud aku setiap orang punya cara uniknya sendiri untuk jadi teman curhat kook
BalasHapus