Life Updates
Assalamu’alaikum, Folks!
Walaupun rasanya sudah lama banget aku enggak mengurus blog
ini, ternyata pada tahun 2021 saja aku sampai mengunggah lima postingan! Memang
tidak rutin, sih, tapi cukup mengejutkan karena kukira Cheapmangoes sudah
terbengkalai hehe. Sebenarnya sejak pertama kali membuat blog sejak tahun 2017,
aku rajin menulis konten setiap tahunnya. Akan tetapi, banyak unggahan yang
sudah kuhapus karena terlalu sentimental, vulnerable,
dan miserable. Terutama postingan
di tahun 2019 – tahun saat aku mengalami kecemasan parah yang mengganggu
aktivitas organisasiku – dan tahun 2020 – pergulatanku dengan skripsi. Aku
sudah punya reputasi sebagai si cengeng, bisa tambah parah imejku kalau cerita
mewek turut menghiasi laman blog.
Pada tahun 2021 sebenarnya aku punya beragam ambisi dan visi
untuk Cheapmangoes, seperti menjadikannya blog yang khusus membahas literasi,
gaya hidup, bahkan tempatku menuangkan opini-opini serius yang kumaksudkan
untuk dibaca orang. Hanya saja semakin lama aku sadar kalau aku tidak akan
konsisten dengan blog bertema. Media sosialku sudah berfungsi sebagai wadah
untuk mengkurasi hal-hal yang memang ingin kubagikan dengan orang lain,
seringkali topik serius (non-kontroversial). Aku bahkan punya akun untuk gambar
dan – dulunya – bacaan. Tapi karena sampai saat ini aku bukanlah pribadi yang
konsisten dan merasa tertuntut untuk memproduksi konten yang sama
berturut-turut, akhirnya banyak proyek awal tersebut yang gugur. Awal tahun ini
aku sebenarnya ingin mengikuti Tuesday
Love Letters dari Kak Aida Azlin, dimana beliau mengirimkan surat-surat
“cinta” untuk para saudarinya melalui surel. Isinya biasanya mengingatkan kita
untuk selalu mengingat Allah dan pembahasan seputar ladies yang tujuannya untuk memotivasi para perempuan agar selalu
bersemangat dalam menjalani hidup. Aku menulis “Tsatsa’s Mini Love Letter” pada
bulan Januari dan skip di bulan
Februari karena aku enggak tahu apa yang sebenarnya ingin kutulis L Rasanya aku disibukkan
oleh banyak hal dan tidak sempat duduk sejenak untuk berpikir hikmah hidup apa
yang bisa kubagikan. Dulu saat masih kuliah dan rajin mentoring, biasanya ada
cerita inspiratif atau hikmah yang bisa kudapatkan dalam seminggu. Karena
sekarang aku hanya mengorbit area rumah dan menyibukkan diri dengan hal-hal
tidak penting seperti opini warganet Korea pada artis kesukaanku, sepertinya
sulit sekali menarik pelajaran dalam kurun waktu seminggu bahkan sebulan.
Biarpun begitu aku positif, sih, akan menulis mini love letter kembali di masa yang akan datang. Kutargetkan
bulan ini, Insyaallah.
Yang paling kusayangkan adalah akun Tumblr-ku. Aku (dulu)
punya dua akun Tumblr. Akun utamaku awalnya dibuat khusus untuk merayakan
pasangan favoritku dari manga/anime Demon Slayer, yakni Zenitsu dan Nezuko yang
kemudian disingkat menjadi Zennezu. Lalu aku mulai sering membuat analisa
tentang hubungan mereka, analisa karakter, hubungan antar karakter, motif dari
pengarang dan studio produksi ketika menciptakan suatu adegan. Analisa yang
awalnya kutulis iseng-iseng sekaligus sebagai sarana latihan menulis bahasa
Inggrisku kemudia mulai menarik likes
dan reblogs. Kemudian followers yang mencapai 130-an. Aku
mulai menemukan teman diskusi, yaitu para moots
(istilah yang digunakan untuk menyebut orang yang kita follow dan nge-follow
kita balik, dari kata “mutual”). Aku mulai merambah ke manga/anime lain dan
membahas berbagai topik. Biasanya opini pribadiku setelah membaca/menonton
karya baru. Terkadang aku menggambar fanart
dan menulis fanfic. Sayangnya itu
semua enggak bertahan lama, kurang dari setahun malah. Ada beberapa alasan yang
akan kujelaskan.
Pertama, aku merasa semakin lama akunku jadi melenceng dari
yang tadinya berfokus pada Demon Slayer, terutama Zennezu, mulai melebar
kemana-mana, bahkan tidak terbatas di dunia manga/anime saja. Aku kehilangan
beberapa followers karena sudah tidak
mengunggah tulisan opini yang menjadi daya tarik utama akunku. Di hari-hari
terakhirku, aku hanya me-reblog
dengan memasukkan komentar di bagian tag.
Sebenarnya untuk soal kehilangan followers
dan belum menghasilkan konten orisinal bukan hal yang terlalu menggangguku.
Tapi aku mulai merasa kesepian saat perlahan moots-ku mulai tidak aktif atau pindah ketertarikan. Moots utamaku lebih aktif di fandom Haikyuu!! dan yang satu lagi menyerah
berada di fandom Demon Slayer karena anime ini pernah jadi bulan-bulanan di
Twitter sebab beberapa adegan yang dicap ‘tidak senonoh’ oleh warga Twitter.
Eits, aku masih tidak akan berhenti hanya karena alasan-alasan “remeh”
tersebut. Yang menjadi pemantik dari keputusanku untuk hengkang dari Tumblr
akan terjadi berikutnya.
Di awal kubilang aku punya dua akun Tumblr, kan? Akun keduaku berfokus untuk menjadi fanpage sebuah manga yang diangkat dari
novel detektif paranormal berjudul There
is No Flower in Hell. Selama kutinggalkan beberapa minggu (sebab manganya
diperbaharui lama sekali, jadi aku juga tidak punya bahan konten apapun),
sesuatu terjadi pada akunku.
Akunku di-hack dan menjadi akun Tumblr soft porn yang mengunggah foto-foto seksi para cewek tanpa wajah
(karena yang diunggah yaa bagian tubuh semua).
Omo.
Tidak perlu ditanyakan lagi, aku kehilangan follower pertamaku
sekaligus satu-satunya dan daftar followingku dibanjiri akun-akun serupa huhu.
Jengah dengan keadaan tersebut, akhirnya akun keduaku kututup. Tidak terlalu
sayang sebab akun keduaku masih terbilang baru.
Setelah kejadian tersebut, aku merasa tidak tenang jika
tidak masuk ke akun utamaku setiap minggu. Aku khawatir jika ia kutinggalkan
cukup lama, akan ada pihak iseng lain yang mengutak-atiknya. Akhirnya perasaan
tidak tenang itulah yang membuatku menyudahi sepak terjangku di Tumblr. Aku
bahkan tidak menyempatkan diri untuk pamitan terlebih dahulu dengan para moots. Saat itu rasanya hanya ingin
cepat-cepat lepas dari Tumblr yang perlahan mulai terasa seperti kewajiban
untuk ditunaikan. Memang sampai sekarang aku masih lumayan menyayangkan karena
sejujurnya aku kangen dengan atmosfer di Tumblr, tapi aku tidak menyesali
langkah yang kuambil kok.
Aksi penghapusan media sosial juga merambah IG, tepatnya
akun keduaku yang berfokus mengulas apa saja yang sudah kubaca. Perlahan
kusadari kalau aku sebenarnya tidak begitu pandai mengulas buku, atau mungkin
gaya pengulasanku dan para bookstagrammer
pada umumnya berbeda. Orang-orang lain biasanya menceritakan isi dari yang
mereka baca (tanpa spoilers
tentunya), pelajaran apa yang bisa diambil, informasi lengkap tentang si buku,
dan opini serta kritik. Di lain pihak, aku tipe yang tidak begitu suka
menceritakan dari awal hingga akhir dan hanya mengambil intinya. Singkat,
padat. Ulasanku cenderung menitikberatkan pada perasaan dan pikiran yang muncul
setelah buku tersebut selesai. Hanya saja, tidak semua buku yang kubaca perlu
untuk dikomentari. Ada buku-buku yang setelah kubaca reaksiku hanya, “Oh,
bagus,” atau “Oh, oke,” atau malah “Dih, apaan, sih.” Coba kalian bayangkan
seorang book reviewer yang isi
ulasannya hanya tiga kata: dih, apaan, dan
sih. Selain itu aku juga jarang
membaca buku sementara akun-akun review buku
lainnya bisa menelurkan ulasan baru setiap minggunya. Bahkan setiap tiga hari
sekali. Aku jadi tertekan dengan dunia literasi yang ikut-ikutan bergerak
cepat.
Ada alasan lain juga. Aku takut untuk mengkritisi sesuatu
yang kemungkinan besar disukai orang lain. Tidak jarang aku membaca buku yang
membuatku ingin nyerocos mengomentari isi buku tersebut. Biasanya yang ingin
kukomentari adalah topik yang diangkat dibandingkan cara penulisan si penulis
itu sendiri. Seperti kumpulan cerpen Kitab
Kawin dari Laksmi Pamundjak. Ada sebagian kisah yang gatal kukomentari
bahwa feminisme harusnya tidak digadang-gadang ketika seorang perempuan
melakukan kesalahan. Memang benar ada cara pandang yang tidak adil dalam
masyarakat yang menormalkan tindakan lelaki yang sebenarnya bermasalah namun
kemudian mengkritik si perempuan ketika ia melakukan kesalahan yang sama,
seperti selingkuh atau menjadi kekasih gelap. Akan tetapi, ketidakadilan
tersebut tidak membenarkan keputusan si perempuan untuk menjadi “wanita
cadangan” bagi si lelaki saat ia tahu status perkawinan lelaki tersebut,
kemudian berekspektasi bahwa orang-orang yang mengaku feminis harus membela
dirinya saat ia dikritik masyarakat. Two wrongs
don’t make one right. Tapi aku malas sekali berdebat di media sosial. Tidak
di media sosial saja, sih. Intinya aku enggan terlibat dalam perdebatan karena
bagiku lebih baik kita bertukar pikiran secara santai, seperti dalam ajang
diskusi di kafe atau warung kopi. Hanya saja, media sosial yang bekerja dengan
cara menstimulasi otak kita untuk berpikir secara singkat dan mendefinisikan
emosi yang kita rasakan dalam waktu kurang dari tiga detik, jelas tidak
memenuhi syarat diskusi santai tersebut. Lebih baik segala pikiranku yang cukup
kontroversial kutaruh di blog ini saja, di tempat yang hanya bisa didatangi
orang-orang yang memang niat mencari. Aku tidak ingin Cheapmangoes dan isinya
muncul sebagai pemuas impulsivitas orang-orang.
Hm… walaupun aku sudah sok menulis secara percaya diri bahwa
aku akan menulis opini kontroversial di sini, sesungguhnya aku punya banyak
pertimbangan tentang pemikiran terdalamku yang mana saja yang bisa
kuperlihatkan ke dunia luar. Salah satu faktor yang menghambatku mengisi blog
ini adalah… aku merasa opiniku tidak dibutuhkan. Tidak di waktu ini, di zaman
ini.
Begini, aku adalah lulusan HI yang secara tidak langsung
seperti dituntut untuk “berpikiran terbuka.” Saat kuliah dulu, kuakui aku
merasa sangat diawasi ketika menulis dan mengunggah suatu konten, biarpun yang
mengawasiku ya hanya Allah serta malaikat. Barangkali aku terpengaruh opini
beberapa teman-temanku yang mengomentari anak HI lain yang memiliki pendapat
yang terkesan konservatif atau terbelakang, “Dia anak HI tapi, kok, mikirnya
begitu, ya?” atau “Yaa wajar, sih, kalau dia mikir bla bla karena dia bukan HI.
Cuma karena kita anak HI yaa kita bisa berpikir lebih terbuka, lah” (Enggak semuanya
begini, kok. Lebih banyak yang beneran cuek sama perbedaan pendapat mulai dari
yang liberal banget sampai konservatif. Kebanyakan terbiasa dengan perbedaan
pendapat dari spektrum paling ujung sampai ujung lainnya). The thing is, even if I graduated as an International Relations
Bachelor, I was raised in a rather religious family with a mix of both
conservative and modern mindsets.
Mau dipaksakan bagaimanapun juga, aku enggak bisa serta
merta mendukung apa yang bertentangan dengan prinsipku. Aku enggak bisa turut
mendukung LGBT, mendukung adzan ditiadakan dengan dalih mengganggu non-muslim,
maupun melabeli diriku sebagai feminis. Di saat bersamaan, aku juga tidak mau
dipaksa mengikuti jalan hidup yang menurut orang harusnya dilalui orang
beragama (bukan dalam konteks ibadah ya, ibadah mah wajib dan memang tujuan hidup
saya). Yang kumaksud itu seperti, aku tidak mau dilarang mendengarkan musik
saat masih ada perbedaan pendapat dari kalangan ulama terkait kebolehannya. Aku
tidak mau dilarang untuk melukis atau tidur dengan bonekaku saat ada pihak yang
berkomentar kalau boneka adalah teman setan. Aku percaya kalau memakai niqab
itu bukan kewajiban dan hanya sunnah. Aku menghargai perbedaan pendapat
tersebut namun aku tidak ingin dipaksa ikut. Dikarenakan aku tidak tahu
sebenarnya diriku ini apa, aku merasa opiniku tidak dibutuhkan. Baik orang
kanan maupun kiri tidak butuh pendapatku. Moderat pun juga mungkin akan menolak
karena aku masih cenderung konservatif. Kalau suatu saat yang membaca ini
adalah tim perekrut karyawan yang sedang mengobservasi para pelamar… well, Sir/Ma’am, please suit yourself. I
humbly ask you to see me based on what I’m capable of and not my disorientation
with political identity.
Dalam beberapa paragraf di atas, kata “feminis” dan “feminisme”
tercetus berkali-kali. Aku pernah bilang ke beberapa teman dekatku bahwa aku
bukan feminis dan tidak berminat untuk menyandang titel tersebut. Aku ingin
bebas mendukung suatu kebaikan tanpa dibebani ekspektasi yang muncul dari suatu
label. Dari berbagai ranah Critical
Theory, setahuku hanya feminisme yang penganutnya sering berkoar-koar
bangga karena menyandang paham tersebut. Bagiku, sebagian nilai feminisme
adalah hal yang lumrah untuk diperjuangkan, seperti kesetaraan gender dalam
bidang pendidikan. Itu hal yang oleh Islam pun didukung. Tidak perlu
menggunakan label untuk mengkategorikan seseorang sebagai pendukung suatu paham
ketika tindakan yang ia lakukan tidak ia dasarkan pada gerakan tertentu. Selain
itu, feminisme sendiri banyak jenisnya. Aku baru tahu dari temanku Afifah kalau
ada juga feminis yang tidak setuju dengan transgender, karena menganggap
keberadaan pria yang mengaku sebagai wanita justru membahayakan kaum wanita itu
sendiri. Contohnya seperti orang yang secara biologis terlahir sebagai pria
namun mengaku sebagai wanita masuk ke kamar mandi wanita. Wanita lain menjadi risih
tapi tidak berdaya untuk protes karena ketidaknyamanannya justru akan dicap transphobic. Atau contoh lainnya adalah
diskusi panas apakah wanita transgender boleh berpartisipasi di perlombaan
cabang wanita, sebab si transgender itu sebelum melalui operasi ganti kelamin
pun sudah memiliki hormon pria pada umumnya, yang memberikan keuntungan fisik
jauh lebih besar dibandingkan wanita biasa. Banyak yang berpendapat jika hal tersebut
malah tidak adil dan menjatuhkan kaum wanita. Dosen mata kuliah feminisku, yang
sangat feminis, mendukung pro-life. Bagi
beliau, sekalipun seorang anak belum dilahirkan, ia sudah menjadi manusia utuh.
Identitas seseorang memang tidak bisa didefinisikan oleh label saja, seperti
dalam kasus dosenku, beliau cukup sentimental kalau sudah membahas anak-anak,
jadi itu juga mempengaruhi pembentukan pendapat beliau yang bertentangan dengan
sebagian besar feminis.
Serius, deh, orang-orang zaman sekarang senang sekali
mengklasifikasi jenis-jenis manusia. Berbarengan dengan kemunculan
istilah-istilah keren, terbit juga dorongan untuk menebak-nebak kira-kira
termasuk golongan manakah setiap orang yang kita tahu. Ada tokoh fiksi yang
digambarkan sangat rakus. Ia menginginkan semua hal di dunia ini: wanita,
anak-anak, orang tua, laki-laki. Bisa ditebak, langsung banyak fans yang bilang
kalau tokoh tersebut adalah ikon biseksual. Padahal menurutku konteks
pembicaraan dia adalah menekankan bahwa dia benar-benar ingin semua orang
tunduk padanya, bukan mengarah ke orientasi seksualnya. Well, this is the state of the world we currently live in.
Karir bermedia sosial lain yang juga pernah kujajak adalah
Quora. Walaupun banyak ilmu baru yang kudapat dari sini, banyak juga pengalaman
enggak enaknya hehe. Yang paling merepotkan adalah karena aku terdistraksi oleh
Quora ketika menjalankan aktivitasku yang lain. Rasanya ingin terus scrolling dan membaca setiap jawaban
yang menarik. Salah satu Quorawan favoritku adalah Fikri Kawakibi. Kalau
berdasarkan kredensialnya, beliau pernah kuliah filsafat atau teologi. Jawaban-jawaban
beliau menaikkan keimananku melalui kegiatan berpikir dan berfilsafat. Salah
satu penjelasan beliau tentang keterbatasan akal manusia dalam mempersepsikan
hal-hal ghaib (alias tidak terlihat
maupun dirasakan oleh panca indera langsung) seperti surga dan neraka harusnya
tidak menjadi penentu eksistensi akhirat. Kita percaya kalau teman kita sudah
makan sekalipun kita tidak melihatnya langsung, karena teman kita sudah
mengkomunikasikan informasi tersebut ke kita. Sama halnya dengan informasi
tentang keberadaan akhirat juga sudah dikomunikasikan oleh Allah melalui
Al-Quran. Kita tidak memiliki kemampuan untuk benar-benar membayangkan seperti
apa surga dan neraka karena otak kita hanya bisa mengambil kesimpulan
berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang sudah kita terima. Ini sesuatu yang
belum pernah terpikirkan olehku sebelumnya.
Untuk pengalamanku yang kurang enak, aku pernah “digoreng”
di Quora Inggris karena mengkoreksi seorang non-muslim yang bilang bahwa pihak
muslim radikal berlebihan ketika menuntut agar kartun Nabi Muhammad SAW di
“South Park” dihapus L
Menurut orang ini, tokoh agama lain seperti Yesus dan Krisna pun juga
dimasukkan di kartun tersebut dan penganut agama tersebut oke-oke saja. Makanya
kukoreksi baik-baik, dengan bilang kalau di Islam memang dilarang, bukan cuma
mereka yang dicap “radikal” saja yang keberatan. Eh, malah oleh followers doi aku diserang. Entah kenapa
yang menyerang rata-rata orang India. Entah terbawa konflik pemeluk Hindu dan
Islam yang lagi santer di sana atau tidak, kurang tahu, deh. Aku sangat kecewa
pada si penulisnya, sebab beliau adalah akun yang opininya sering kuikuti
karena sering mengkritik orang-orang kiri yang berlebihan. Aku tidak akan
menyebut nama, namun beliau seorang jurnalis dan pengamat politik dari
Perancis. I know, I know. It’s my fault
because I should’ve expected the outcome considering his nationality. Aku
tidak punya dendam terhadap orang Perancis, namun aku harusnya tidak
berekspektasi adanya jalan tengah antara opini orang yang hidup di negara
sekuler dan orang yang terbiasa hidup di… Indonesia. Well, this is the state of the current world we live in (2).
Aku tidak tahu bagaimana cara yang paling baik untuk
mengakhiri tulisan panjang lebar tanpa arah ini. Cukup sampai di sini. Sampai
ketemu lain waktu, Insyaallah.
Wassalamu’alaikum, Friends!
Bonus: Beverage Mockup versi Kim Woojin, one of the most inspiring K-pop soloists ever.
@tsatsadraws on IG and Twitter |
Komentar
Posting Komentar