Jika Tak Memiliki Bakat Menulis, Untuk Apa Mengangkat Pena? (2)
Irsan, salah satu bestie kuliahku, pernah menyatakan kalau aku punya pandangan nihilisme. Penyebabnya adalah kala itu aku sedang di titik rendah dan kubilang, “Setiap manusia itu hidup karena menyumbangkan sesuatu pada takdir kan? Kalau kita tidak bisa menjadi orang yang penting atau memiliki arti dalam hidup, eksistensi yang dibutuhkan banyak orang, apa gunanya kita hidup? Kalau posisi kita sebegitu mudahnya digantikan orang lain, enggak akan menjadi masalah kalau kita menghilang dong? Toh, kita hidup di dunia juga demi diri kita sendiri, mengumpulkan bekal untuk persiapan hidup di akhirat nanti dan bukan demi orang lain. Kalau aku enggak punya manfaat apapun di suatu tempat, bukankah lebih baik segera pergi supaya orang yang lebih baik bisa menggantikanku? Kalau aku tidak berguna, untuk apa aku hidup?” Wow, krisis eksistensial. Sepertinya saat itu aku sedang marah karena merasa tidak berguna. Saat itu – sampai sekarang sebenarnya – aku sangat membutuhkan validasi, karena hanya dari validasi itu aku tahu kalau ada artinya aku tetap bernapas.
Manusia bukan mesin yang ketika rusak bisa segera diganti
yang baru. Mereka punya dampak emosional yang tidak akan bisa tergantikan oleh
teknologi secanggih apapun, sebab pencipta manusia adalah Allah Swt. Walaupun
aku akan menasehati siapapun yang berpikiran sama dengan diriku saat itu, aku
kesulitan untuk menerapkan kesadaran bahwa manusia tidak akan bisa dengan
mudahnya tergantikan. Layaknya anak kecil yang berusaha melakukan sesuatu dan
berkali-kali menengok ke arah ibunda demi memastikan apa yang ia lakukan itu
benar, aku sulit untuk lurus melihat ke depan tanpa mengecek apa yang orang
lain lakukan atau pikirkan. Karena aku belum mampu berdiri di atas kaki
sendiri, aku butuh keyakinan kalau diriku ini penting dan orang akan kesulitan
saat aku tidak ada.
Validation gives me a sense of security because it makes me
believe that I’m on the right path and things I do are meaningful for others. Jika
apa yang kukerjakan tidak mendapat apresiasi, aku akan patah arang karena
beranggapan bahwa aku tidak cukup baik untuk pekerjaan itu. Aku adalah kritikus
yang paling keras untuk diriku sendiri. Kemungkinan merupakan atasan terkejam
juga yang menahanku dalam gelembung perfeksionisme. Ironisnya, di saat yang
sama aku juga tidak berani mengambil posisi-posisi penting dan tinggi karena
menganggap kemampuanku hanya standar.
Dengan semua cara berpikir yang menurunkan semangat ini
disertai penyampaiannya yang berantakan, aku sering mengingat kata-kata
temanku. Irsan menanggapi keresahanku dengan kalimat singkat yang kuingat
sampai sekarang… “Well, let’s say you were born without specific meaning behind
your birth. But doesn’t that mean you are free to create your own destiny?
Kayak kertas kosong gitu, lho. Kalau lu kan mikirnya manusia punya tujuan hidup
yang disiapkan dari sebelum mereka lahir. Kalau menurut gue, manusia bisa
menciptakan tujuan hidup dia sendiri.” Maaf Irsan, aku paham maksudmu, tapi
secara mental aku masih belum bisa menerapkannya. Aku belum menentukan
tujuanku. Aku enggak ingin asal menetapkan tujuan yang tidak realistis. Aku masih
berusaha mengenal diriku, walaupun aku ragu sampai mati akan bisa benar-benar
mengenal siapa aku sebenarnya. Kalau istilah mamaku, aku belum bisa “berdamai
dengan diri sendiri.”
Dengan dunia tulis menulis pun masih belum ada perjanjian
damai antara kami berdua. Afifah sempat memberi insight bahwa tidak masalah
jika aku tidak memiliki cara menulis yang sama seperti temanku dan penulis muda
yang kuungkit di tulisan sebelumnya. Kekuatanku adalah cara menulis yang jujur
tentang diri sendiri dan kehidupan (slice of life) atau tulisan mengenai kritik
sosial – yang sebenarnya masih tame banget. Aku tidak yakin, sih, apakah ada
orang yang mau membaca renungan semacam buku harian yang ruwet. Namun sejauh
ini apa yang Afifah katakan bisa menghibur hatiku.
Aku belum bisa menemukan jawaban dari rumusan masalahku,
akan mengapa aku tetap mengangkat pena sekalipun nampaknya tidak berbakat dalam
dunia tulis menulis – atau aspek lain dalam hidupku. Biarpun begitu, sepertinya
sejauh ini aku harus mencoba membuat target sederhana. Bukan target yang
membuatku merasa lebih bergairah hidup, sih. Untuk bergairah, aku harus merasa
disibukkan oleh hal produktif yang hasilnya bisa kulihat.
But for now, I think I can work with what I currently have… I guess.
Komentar
Posting Komentar