ESENSI PORANG
PORANG. Kata satu ini pasti enggak asing bagi para penghuni jurusan Hubungan Internasional Unpad. Baik mahasiswa maupun dosen-dosennya. Porang adalah singkatan dari Pekan Olahraga Angkatan, sebuah ajang lomba antar angkatan di HI Unpad, baik angkatan paling baru –alias maba- sampai angkatan yang sudah jadi alumni. Biarpun disebut “pekan”, Porang berlangsung selama dua bulan. Kesannya acara ini semacam perlombaan menyambut pentas seni. Apalagi setelah Porang selesai, disusul juga dengan makrab.
Apa yang spesial dari Porang? Yang jadi panitianya adalah para mahasiswa baru, angkatan termuda dari keluarga besar HI Unpad. Di masaku, Porang baru saja berakhir di bulan Mei semester dua setelah berminggu-minggu menguras fisik dan pikiran para panitianya. Terutama panitia inti dan divisi-divisi yang disebut “segitiga setan”, yaitu divisi acara, humas, dan LO (Liason Officers).
Banyak sekali perdebatan yang berputar di antara kami selaku panitia Porang 2017. Enggak sedikit yang mengeluh karena acara ini benar-benar menyita waktu dan kelihatan menghambat performa di kampus. Memang ada yang aktif jadi panitia di Porang, tapi enggak sedikit yang kabur meninggalkan tugasnya. Karena pada dasarnya satu angkatan benar-benar “dipaksa” untuk keroyokan mengurus acara ini, maka masalah berkenan berpartisipasi atau tidak jadi urusan belakangan. Acara ini besar dan karenanya sudah di-approve oleh BPH Hima HI Unpad (Badan Pengurus Harian Himpunan Mahasiswa) dan diakui para dosen, juga butuh SDM yang banyak.
Selain capek, kendala yang kami hadapi juga rongrongan dari kakak-kakak tingkat kami. Entah mana yang benar serius menasehati, entah mana yang cuma iseng ngerjain. Dan yang paling santer adalah kami disuruh mencari esensi dari Porang tersebut. Apa makna dari mengadakan acara yang saat dijalani cuma kerasa capek dan bikin frustasi, yang cuma menyenangkan kakak tingkat dan kami merasa di-rodi jadinya? Apa hikmahnya selain meneruskan sebuah tradisi? Tradisi memang ada yang bagus, tapi konteks tradisi di sini buruk, alasan yang memaksa para generasi muda untuk meneruskan apa yang pernah dilakukan pendahulu mereka. Itulah pikiran sebagian dari kami dulu. Aku emang waktu itu belum nemuin esensi Porang yang bener-bener muasin hati, tapi aku juga enggak setuju kalo acara sebesar ini cuma dicap sekedar nerusin tradisi. Udah capek-capek, kok, kerja kerasnya dilihat seremeh itu, sama beberapa panitia sendiri pula?
Setiap kakak tingkat nanyain soal esensi, kami rada kelimpungan jawab. Jawaban yang paling umum ya menyatukan angkatan (padahal banyak kasus jadi marah dan bete sama temen A atau B karena baru ketahuan sifatnya gimana), mengenalkan dengan kakak tingkat, nambah-nambah pengalaman organisasi (jawaban yang satu ini umum banget Masya Allah). Tapi, kok, yang nanya kelihatan senyam-senyum dan kurang puas sama jawaban begitu. Makanya sampe setelah Porang selesai, esensinya tetap jadi rahasia Illahi.
Tapi pagi ini aku akhirnya paham esensi dari Porang setelah dua bulan lebih acara Porang selesai. Lama juga, ya. Kenapa bisa sadar? Sadarnya pas mama ngasih wejangan supaya aku harus nikmatin empat tahun masa kuliah yang sebentar. Dan aku langsung ngehubungin Ilham si ketua porang 2017 karena doi yang paling relevan kalo ngebahas topik Porang hehe. Selain itu Ilham pantas untuk bangga dan engga merasa kalo usahanya mengetuai Porang sia-sia belaka (Ilham kayaknya sih enggak berpikir begitu, tapi ya jaga-jaga).
Ham akhirnya gw menemukan esensi porang yang sesungguhnya. Butuh waktu hampir 2 bulan sampe gw sadar wkwk
Gimana, gimana kwkwkwk
Hem bakal panjang nih
Menurut gw, esensi dari porang itu sendiri abstrak, enggak bisa dilihat secara langsung. Makanya mungkin karena itu juga kating (feeling gw sih) enggak begitu puas sama jawaban kita. Esensi porang: membuat kenangan.
Ham, kita kuliah cuma 4 tahun. Bagi anak sekolah yang belajarnya full, 4 tahun itu lamaaa banget. Tapi coba anak kuliah. Empat tahun, tapi libur banyak. Masuk kelas, tugasnya susah, tapi masih ada waktu buat berorganisasi. Banyak kesempatan lomba dan berwirausaha. Masing-masing dari kita lagi ngeraba jalan kita sendiri sebelum lulus dan ngadepin hidup yg beneran hidup.
Empat tahun itu sebentar, saat kita udah mau nginjek predikat angkatan tertua pas menjelang 2020 nanti, pasti kita sulit banget nemuin waktu buat kumpul bareng anak-anak yang kita jadiin temen pertama di kuliah ini. Pasti deh ada rasa kangen, rasa sedih, dan mungkin menyesal karena enggak begitu meluangkan waktu sama teman-teman. Dan barangkali (kalo ini yg dimaksud sama kating) baru saat itulah kita ngerasain esensi porang kita yg sesungguhnya.
Porang, acara yang dianggap berat ketika dijalani, tapi menyenangkan ketika diingat (pas nulis bagian ini, jujur aku engga sadar kalo ini salah satu kalimat penyemangat yg sering diomongin kakak-kakak tingkat. Waktu itu pas dengar masih terasa sekedar basa-basi aja. Sekarang aku baru ngeh beneran maknanya). Acara yg jadi semacam kenangan yg mengikat satu angkatan. Acara yg maksa satu angkatan buat campur tangan mengurusnya. Tapi bukan cuma sehari. Berhari-hari, bahkan dua bulan. Waktu yg cukup buat ngegempur kita semua, buat menyatukan, lalu dipecahkan, lalu disatukan lagi.
Tapi di saat kita udah enggak ketemu temen-temen kita lagi di masa depan, yang bisa menghibur sedih terkadang cuma nostalgia. Pasti ada kenangan yang menyedihkan. Tapi masa selama 2 bulan, cuma yg menyedihkan, bikin marah, dan ngejengkelin doang yang keinget. Kalo diinget secara keseluruhan, justru itu bukan kenangan buruk, Ham. Itu kenangan yg indah. Capek? Saat itu doang. Apa ke depannya capek akan tetap keinget?
Lalu bayangin ketika sebagian temen kita udah lulus, Ham. Beberapa masih kuliah, ada yg ngejar skripsi, ada yg magang, ada yg udah kerja, ada yg mutusin buat langsung berkeluarga, ada yg frustasi, ada yg bahagia, ada yg ingin ketemu dan kumpul tapi enggak tahu mesti beralasan apa, ada yg enggak kangen apapun tapi sedang ingin lari dari susahnya hidup. Lalu di saat kita melewati masa itu, Ham, ada adik-adik kita yang mengadakan acara Porang. Ada ajang untuk temu kangen lagi, bertemu beberapa hari menghilangkan penat kerja, penat hidup, atau sekedar cari alasan untuk nengok Unpad, nengok mantan gebetan, nengok adik-adik baru di keluarga kita. Dan mereka, kakak-kakak tingkat, senang sebenarnya, Ham. Biarpun mereka ngeluh atau bete di lapangan, siapa yg tahu mereka sebenernya bersyukur bisa nostalgia bareng temen lama.
Coba lihat temen-temen kita, Ham. Porang itu pas banget diadain pas semester 2. Bukan karena khawatir matkul semester 3 bakal lebih seram. Tapi lihat. Temen-temen kita satu per satu ngilang. Ada yang pindah jurusan, ada yang berhenti kuliah, ada yg punya masalah keluarga. Tapi di awal semester 2 sebagian besar masih sama-sama kita. Itu waktu yg paling pas untuk bikin kenangan.
Porang ada untuk mempertahankan salah satu sumber kesenangan di HI Unpad. Kita bikin acara porang ini bukan untuk meneruskan tradisi. Tapi untuk mempertahankan sebuah alasan dari sumber kebahagiaan kakak-kakak kita. Dan kita, terutama Ilham sebagai ketuanya, harus bangga. Lu harus bangga sama diri lu terutama, Ham. Sama adio, sama oding, ardi, hilal, dll karena enggak nyerah di tengah jalan. Enggak nyerah untuk mempertahankan alasan ini. Karena gw yakin, kating-kating kita mau kita mewarisi acara ini bukan cuma demi mereka. Tapi supaya kita di masa yang akan datang juga bakal paham sama kebahagiaan mereka yg datang dari alasan sesederhana pesta olahraga angkatan dan juga makrab. Kita butuh Porang tapi kita enggak sadar kalo kita butuh, sampai suatu saat kita menyadari esensi dari porang itu sendiri.
Begitulah, Teman-teman. Aku enggak bisa bilang kalau esensi ini adalah yang dimaksud kakak-kakakku. Tapi secara pribadi aku puas banget sama jawaban ini. Gimana enggak, udah berminggu-minggu bekerja keras untuk hal yang kita masih enggak ngerti hikmahnya apa itu melelahkan lho. Dan sebelum aku punya jawaban ini, aku juga enggak mandang Porang itu spesial. Tapi setelah paham, beuh, ringan langsung nih kokoro.
Kok bisa, sih, cuma dari saran mama buat nikmatin waktu kuliah yang sebentar ini bikin jawaban itu tercetus di kepala? Jawabannya gampang. Yang kupikirin saat dengerin mama adalah: “Sedih pasti, kalau udah mau lulus pada jarang ketemu sama temen-temen seangkatan. Apalagi kalo udah lulus. Seandainya enggak ada Porang, kakak-kakak tingkatku pasti enggak punya ajang temu kumpul lainnya yg sampe berhari-hari... eh, seandainya enggak ada Porang? Jadi apa itu alasan Porang diadain?”
Seandainya ada adik tingkatku yang baca, apapun jawabanmu nanti kalau ditanya apa esensi dari Porang yang kamu selenggarakan itu, jawaban yang sebenarnya adalah jawaban yang memuaskan hatimu dan menghilangkan rasa berat menjalani Porang. Aku enggak bisa bilang ini esensi yang dimaksud semua kating. Tapi pas kupikir lagi, aku semakin puas sama yang udah kulakukan dan makin yakin inilah esensi sesungguhnya. Karenanya aku yakin, suatu saat nanti kalian bakal merasakan esensi Porang ini, atau setidaknya hati kalian paham.
“Di saat kita udah enggak bisa ketemu temen-temen kita lagi di masa depan, yang bisa menghibur sedih terkadang cuma nostalgia.”
Apa yang spesial dari Porang? Yang jadi panitianya adalah para mahasiswa baru, angkatan termuda dari keluarga besar HI Unpad. Di masaku, Porang baru saja berakhir di bulan Mei semester dua setelah berminggu-minggu menguras fisik dan pikiran para panitianya. Terutama panitia inti dan divisi-divisi yang disebut “segitiga setan”, yaitu divisi acara, humas, dan LO (Liason Officers).
Banyak sekali perdebatan yang berputar di antara kami selaku panitia Porang 2017. Enggak sedikit yang mengeluh karena acara ini benar-benar menyita waktu dan kelihatan menghambat performa di kampus. Memang ada yang aktif jadi panitia di Porang, tapi enggak sedikit yang kabur meninggalkan tugasnya. Karena pada dasarnya satu angkatan benar-benar “dipaksa” untuk keroyokan mengurus acara ini, maka masalah berkenan berpartisipasi atau tidak jadi urusan belakangan. Acara ini besar dan karenanya sudah di-approve oleh BPH Hima HI Unpad (Badan Pengurus Harian Himpunan Mahasiswa) dan diakui para dosen, juga butuh SDM yang banyak.
Selain capek, kendala yang kami hadapi juga rongrongan dari kakak-kakak tingkat kami. Entah mana yang benar serius menasehati, entah mana yang cuma iseng ngerjain. Dan yang paling santer adalah kami disuruh mencari esensi dari Porang tersebut. Apa makna dari mengadakan acara yang saat dijalani cuma kerasa capek dan bikin frustasi, yang cuma menyenangkan kakak tingkat dan kami merasa di-rodi jadinya? Apa hikmahnya selain meneruskan sebuah tradisi? Tradisi memang ada yang bagus, tapi konteks tradisi di sini buruk, alasan yang memaksa para generasi muda untuk meneruskan apa yang pernah dilakukan pendahulu mereka. Itulah pikiran sebagian dari kami dulu. Aku emang waktu itu belum nemuin esensi Porang yang bener-bener muasin hati, tapi aku juga enggak setuju kalo acara sebesar ini cuma dicap sekedar nerusin tradisi. Udah capek-capek, kok, kerja kerasnya dilihat seremeh itu, sama beberapa panitia sendiri pula?
Setiap kakak tingkat nanyain soal esensi, kami rada kelimpungan jawab. Jawaban yang paling umum ya menyatukan angkatan (padahal banyak kasus jadi marah dan bete sama temen A atau B karena baru ketahuan sifatnya gimana), mengenalkan dengan kakak tingkat, nambah-nambah pengalaman organisasi (jawaban yang satu ini umum banget Masya Allah). Tapi, kok, yang nanya kelihatan senyam-senyum dan kurang puas sama jawaban begitu. Makanya sampe setelah Porang selesai, esensinya tetap jadi rahasia Illahi.
Tapi pagi ini aku akhirnya paham esensi dari Porang setelah dua bulan lebih acara Porang selesai. Lama juga, ya. Kenapa bisa sadar? Sadarnya pas mama ngasih wejangan supaya aku harus nikmatin empat tahun masa kuliah yang sebentar. Dan aku langsung ngehubungin Ilham si ketua porang 2017 karena doi yang paling relevan kalo ngebahas topik Porang hehe. Selain itu Ilham pantas untuk bangga dan engga merasa kalo usahanya mengetuai Porang sia-sia belaka (Ilham kayaknya sih enggak berpikir begitu, tapi ya jaga-jaga).
Ham akhirnya gw menemukan esensi porang yang sesungguhnya. Butuh waktu hampir 2 bulan sampe gw sadar wkwk
Gimana, gimana kwkwkwk
Hem bakal panjang nih
Menurut gw, esensi dari porang itu sendiri abstrak, enggak bisa dilihat secara langsung. Makanya mungkin karena itu juga kating (feeling gw sih) enggak begitu puas sama jawaban kita. Esensi porang: membuat kenangan.
Ham, kita kuliah cuma 4 tahun. Bagi anak sekolah yang belajarnya full, 4 tahun itu lamaaa banget. Tapi coba anak kuliah. Empat tahun, tapi libur banyak. Masuk kelas, tugasnya susah, tapi masih ada waktu buat berorganisasi. Banyak kesempatan lomba dan berwirausaha. Masing-masing dari kita lagi ngeraba jalan kita sendiri sebelum lulus dan ngadepin hidup yg beneran hidup.
Empat tahun itu sebentar, saat kita udah mau nginjek predikat angkatan tertua pas menjelang 2020 nanti, pasti kita sulit banget nemuin waktu buat kumpul bareng anak-anak yang kita jadiin temen pertama di kuliah ini. Pasti deh ada rasa kangen, rasa sedih, dan mungkin menyesal karena enggak begitu meluangkan waktu sama teman-teman. Dan barangkali (kalo ini yg dimaksud sama kating) baru saat itulah kita ngerasain esensi porang kita yg sesungguhnya.
Porang, acara yang dianggap berat ketika dijalani, tapi menyenangkan ketika diingat (pas nulis bagian ini, jujur aku engga sadar kalo ini salah satu kalimat penyemangat yg sering diomongin kakak-kakak tingkat. Waktu itu pas dengar masih terasa sekedar basa-basi aja. Sekarang aku baru ngeh beneran maknanya). Acara yg jadi semacam kenangan yg mengikat satu angkatan. Acara yg maksa satu angkatan buat campur tangan mengurusnya. Tapi bukan cuma sehari. Berhari-hari, bahkan dua bulan. Waktu yg cukup buat ngegempur kita semua, buat menyatukan, lalu dipecahkan, lalu disatukan lagi.
Tapi di saat kita udah enggak ketemu temen-temen kita lagi di masa depan, yang bisa menghibur sedih terkadang cuma nostalgia. Pasti ada kenangan yang menyedihkan. Tapi masa selama 2 bulan, cuma yg menyedihkan, bikin marah, dan ngejengkelin doang yang keinget. Kalo diinget secara keseluruhan, justru itu bukan kenangan buruk, Ham. Itu kenangan yg indah. Capek? Saat itu doang. Apa ke depannya capek akan tetap keinget?
Lalu bayangin ketika sebagian temen kita udah lulus, Ham. Beberapa masih kuliah, ada yg ngejar skripsi, ada yg magang, ada yg udah kerja, ada yg mutusin buat langsung berkeluarga, ada yg frustasi, ada yg bahagia, ada yg ingin ketemu dan kumpul tapi enggak tahu mesti beralasan apa, ada yg enggak kangen apapun tapi sedang ingin lari dari susahnya hidup. Lalu di saat kita melewati masa itu, Ham, ada adik-adik kita yang mengadakan acara Porang. Ada ajang untuk temu kangen lagi, bertemu beberapa hari menghilangkan penat kerja, penat hidup, atau sekedar cari alasan untuk nengok Unpad, nengok mantan gebetan, nengok adik-adik baru di keluarga kita. Dan mereka, kakak-kakak tingkat, senang sebenarnya, Ham. Biarpun mereka ngeluh atau bete di lapangan, siapa yg tahu mereka sebenernya bersyukur bisa nostalgia bareng temen lama.
Coba lihat temen-temen kita, Ham. Porang itu pas banget diadain pas semester 2. Bukan karena khawatir matkul semester 3 bakal lebih seram. Tapi lihat. Temen-temen kita satu per satu ngilang. Ada yang pindah jurusan, ada yang berhenti kuliah, ada yg punya masalah keluarga. Tapi di awal semester 2 sebagian besar masih sama-sama kita. Itu waktu yg paling pas untuk bikin kenangan.
Porang ada untuk mempertahankan salah satu sumber kesenangan di HI Unpad. Kita bikin acara porang ini bukan untuk meneruskan tradisi. Tapi untuk mempertahankan sebuah alasan dari sumber kebahagiaan kakak-kakak kita. Dan kita, terutama Ilham sebagai ketuanya, harus bangga. Lu harus bangga sama diri lu terutama, Ham. Sama adio, sama oding, ardi, hilal, dll karena enggak nyerah di tengah jalan. Enggak nyerah untuk mempertahankan alasan ini. Karena gw yakin, kating-kating kita mau kita mewarisi acara ini bukan cuma demi mereka. Tapi supaya kita di masa yang akan datang juga bakal paham sama kebahagiaan mereka yg datang dari alasan sesederhana pesta olahraga angkatan dan juga makrab. Kita butuh Porang tapi kita enggak sadar kalo kita butuh, sampai suatu saat kita menyadari esensi dari porang itu sendiri.
Begitulah, Teman-teman. Aku enggak bisa bilang kalau esensi ini adalah yang dimaksud kakak-kakakku. Tapi secara pribadi aku puas banget sama jawaban ini. Gimana enggak, udah berminggu-minggu bekerja keras untuk hal yang kita masih enggak ngerti hikmahnya apa itu melelahkan lho. Dan sebelum aku punya jawaban ini, aku juga enggak mandang Porang itu spesial. Tapi setelah paham, beuh, ringan langsung nih kokoro.
Kok bisa, sih, cuma dari saran mama buat nikmatin waktu kuliah yang sebentar ini bikin jawaban itu tercetus di kepala? Jawabannya gampang. Yang kupikirin saat dengerin mama adalah: “Sedih pasti, kalau udah mau lulus pada jarang ketemu sama temen-temen seangkatan. Apalagi kalo udah lulus. Seandainya enggak ada Porang, kakak-kakak tingkatku pasti enggak punya ajang temu kumpul lainnya yg sampe berhari-hari... eh, seandainya enggak ada Porang? Jadi apa itu alasan Porang diadain?”
Seandainya ada adik tingkatku yang baca, apapun jawabanmu nanti kalau ditanya apa esensi dari Porang yang kamu selenggarakan itu, jawaban yang sebenarnya adalah jawaban yang memuaskan hatimu dan menghilangkan rasa berat menjalani Porang. Aku enggak bisa bilang ini esensi yang dimaksud semua kating. Tapi pas kupikir lagi, aku semakin puas sama yang udah kulakukan dan makin yakin inilah esensi sesungguhnya. Karenanya aku yakin, suatu saat nanti kalian bakal merasakan esensi Porang ini, atau setidaknya hati kalian paham.
“Di saat kita udah enggak bisa ketemu temen-temen kita lagi di masa depan, yang bisa menghibur sedih terkadang cuma nostalgia.”
Akuuuu sukakkkkkkkk
BalasHapusMaaciw adikkuuu<3
Hapus