Jika Tak Memiliki Bakat Menulis, Untuk Apa Mengangkat Pena? (1)

Saat masih kecil, kukira aku bisa hidup dari bergantung pada kemampuan menulisku. Cita-citaku menjadi penulis karena aku ingin menyampaikan kisah-kisah yang bisa mengaduk emosi pembaca. Sedikit iseng, aku malah berkeinginan membuat karakter yang akan disayangi pembaca lalu karakter tersebut akan kukirim ke akhirat setelah para pembaca sudah jatuh hati. Itu skema ‘jahat’ awalku.

Akan tetapi, semakin aku beranjak dewasa, aku mulai kehilangan arah dalam melangkah. Salah satunya adalah dalam hal tulis menulis. Berhubung unggahan ini bukan artikel terstruktur, mari kita ngalor-ngidul sedikit. Kemarin malam, aku menelepon Afifah, salah satu bestie kuliahku. Aku mencurahkan kegalauanku padanya. Kubilang kalau aku tidak tahu sebenarnya aku ditakdirkan untuk jalan hidup yang seperti apa. Pikiran tersebut terlintas kala aku menemukan akun media sosial anak-anak muda yang bisa melanglang buana kemana saja. Anak-anak muda ini bersekolah di luar negeri atau mendapatkan pekerjaan keren (mungkin rasanya lebih sakit karena aku baru saja berhenti dari pekerjaanku sebelumnya). Aku berusaha untuk tidak iri supaya mereka tidak kena penyakit ‘ain dariku, tapi yang ada adalah perasaan bahwa aku gagal serta hilang arah.

Sejak kecil, aku selalu beranggapan bahwa aku akan menjalani jalur hidup yang lekat dengan dunia pendidikan. Menjadi salah satu mahasiswa cerdas yang memenangkan tawaran beasiswa atau pertukaran pelajar sana-sini. Atau menjadi salah satu pemangku jabatan penting di perusahaan mumpuni. Keyakinan tersebut ada karena aku langganan juara kelas. Juara kelas = orang pintar. Orang pintar punya banyak kesempatan dalam hidupnya. Selama aku pintar dan berada di peringkat atas, aku bisa mewujudkan apa saja keinginanku. Di masa-masa itu juga, aku percaya diri dengan kemampuan menulisku. Orang sekitarku sering memuji tulisanku yang dianggap jenaka dan lugas. Aku belum menemukan orang lain yang memiliki kemampuan atau keinginan yang sama denganku kala itu. Layaknya kisah seekor katak yang merasa sumur tempat tinggalnya adalah yang terbaik di seluruh dunia sebab ia tidak pernah keluar dari sumur tersebut [1], aku tidak sadar kalau hanya menjadi jagoan kandang. Aku masuk SD yang kualitasnya tidak bisa disebut bagus, jadi kepintaranku pun sebenarnya termasuk standar.

Keyakinan semu di masa kecil lama kelamaan tergantikan oleh kenyataan bahwa banyak orang yang lebih di atasku. Karena aku menilai kemampuanku dari seberapa lebih atau kurangnya aku dari orang lain, aku mulai dihinggapi perasaan minder dan tidak berguna kala bertemu orang-orang yang “lebih” dariku. Perasaan ini sempat terlupakan saat aku sedang bekerja, karena ketika kita dikejar target, yang terpikirkan hanyalah cara mencapai target tersebut. Tidak ada waktu yang boleh disia-siakan untuk bermurung diri. Ketika aku sudah keluar, kepercayaan diri karena sudah bisa menghasilkan uang sendiri perlahan luruh saat aku mulai mencari kegiatan baru. Ada satu momen kesadaran yang melunturkan sisa kepercayaan diriku dalam hal menulis.

Ada seorang penulis wanita muda yang karyanya kunikmati sejak kecil. Bagi yang dulu senang membaca KKPK pasti familiar dengan beliau. Beliau saat ini sedang kuliah di Amerika demi mengukuhkan passion menulisnya. Beberapa hari terakhir, beliau membuat sesi menulis bersama secara daring. Waktu itu aku sudah berniat ikutan sesi mini beliau namun terhalang oleh agenda kegiatan lain. Setiap selesai sesi menulis, beliau me-repost story Instagram para peserta. Salah satunya adalah temanku, seorang penulis yang bukunya sudah diterbitkan. Temanku ini adalah orang yang sangat pandai memainkan emosi, merangkai kata, dan selalu fokus pada passion-nya bahkan sejak zaman sekolah dimana kebanyakan remaja masih belum tahu mau jadi apa kedepannya. Aku sangat mendukung cita-citanya karena beberapa alunan kisah yang ia tulis pernah menjadi penghibur di saat aku sedang sedih. Tapi sejujurnya, melihat temanku dan penulis kesukaanku bercengkrama tentang menulis, hal yang keduanya sangat paham dan resapi dalam kehidupan sehari-hari mereka, hal yang hilang dari genggamanku begitu beranjak dewasa, aku merasa gagal. Merasa terpinggirkan. Seperti seorang anak yang berdiri di pojok saat pesta dansa dan menatap iri teman-temannya yang menari di tengah ruangan. Perasaan kesepian dan tertinggal yang tidak enak.

Kenapa hal yang nampak remeh tersebut menggangguku? Alasannya adalah aku merasa bahwa tempatku bukanlah di dunia literatur karena aku tidak seperti mereka. Aku tidak bisa meresapi seni mendalami emosi manusia dan menyusun kata yang berdampak bagi pembaca. Aku tidak ngeh dengan hal yang para penikmat literatur seperti Youtuber Jack Ben Edwards anggap keren. Aku suka Taylor Swift tapi tidak benar-benar merasakan kejeniusan beliau dalam lagu-lagu yang dikarangnya dan bagaimana beliau diakui oleh orang-orang yang memiliki passion di dunia literatur.

Bagaimana rasanya ketika kamu mengira sesuatu adalah milikmu namun kemudian kamu sadar kalau kamu tidak punya apa-apa? Tidak enak kan? Itu juga yang membebaniku. Kemanapun aku melangkah, aku melihat kalau aku sudah tertinggal dari yang lain dan tidak memiliki kemampuan yang bermanfaat untuk mendukung pekerjaan atau memaksimalkan potensiku. Singkatnya, aku tidak cocok di bidang manapun.

(Sejauh ini) tidak ada tempat untukku bisa bermanfaat di dunia ini, selain identitasku sebagai seorang anak dan seorang teman yang baik. Aku belum menyumbangkan apapun pada masyarakat. Tidak ada kebermanfaatkan yang bisa kutawarkan.


[1] Cerita rakyat Tiongkok

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah Kita Bersimpati Pada Seseorang Tanpa Menyetujui Tindakannya?

Review Webtoon: The Real Lesson, Jalan Tengah Hukuman Fisik pada Murid