Postingan

Bisakah Kita Bersimpati Pada Seseorang Tanpa Menyetujui Tindakannya?

Aku selalu berpikir kalau perasaan dan logika tidak perlu sejalan. Aku bisa merasa kasihan pada seseorang yang kesusahan, tapi tidak bisa memaklumi tindakannya merampok. Opiniku bisa berubah sepanjang waktu, kecuali untuk hal-hal yang memang tidak sejalan dengan prinsipku seperti pelacuran, LGBT, bunuh diri, dsb ( agree to disagree ya, tidak ada paksaan untuk beropini sama sepertiku). Lalu aku mulai berpikir, cerita kan disampaikan untuk memberitahu kondisi dari sisi penutur dan penutur pasti berharap agar orang mau memahami dirinya – lebih bagus lagi kalau mendukung tindakannya. Apakah adil ketika seseorang sudah menjelaskan kisahnya dan kita kekeuh tidak setuju dengan tindakannya? Apalagi ada kutipan yang bilang, “orang-orang yang hobi membaca adalah orang yang paling toleran sebab mereka melihat banyak perspektif.” Sampai sejauh mana “toleran” yang dimaksud ini? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul setelah aku membaca kisah seorang istri yang mendukung keputusan suaminya untuk bunuh di

Jika Tak Memiliki Bakat Menulis, Untuk Apa Mengangkat Pena? (2)

Irsan, salah satu bestie kuliahku, pernah menyatakan kalau aku punya pandangan nihilisme. Penyebabnya adalah kala itu aku sedang di titik rendah dan kubilang, “Setiap manusia itu hidup karena menyumbangkan sesuatu pada takdir kan? Kalau kita tidak bisa menjadi orang yang penting atau memiliki arti dalam hidup, eksistensi yang dibutuhkan banyak orang, apa gunanya kita hidup? Kalau posisi kita sebegitu mudahnya digantikan orang lain, enggak akan menjadi masalah kalau kita menghilang dong? Toh, kita hidup di dunia juga demi diri kita sendiri, mengumpulkan bekal untuk persiapan hidup di akhirat nanti dan bukan demi orang lain. Kalau aku enggak punya manfaat apapun di suatu tempat, bukankah lebih baik segera pergi supaya orang yang lebih baik bisa menggantikanku? Kalau aku tidak berguna, untuk apa aku hidup?” Wow, krisis eksistensial. Sepertinya saat itu aku sedang marah karena merasa tidak berguna. Saat itu – sampai sekarang sebenarnya – aku sangat membutuhkan validasi, karena hanya dari v

Jika Tak Memiliki Bakat Menulis, Untuk Apa Mengangkat Pena? (1)

Saat masih kecil, kukira aku bisa hidup dari bergantung pada kemampuan menulisku. Cita-citaku menjadi penulis karena aku ingin menyampaikan kisah-kisah yang bisa mengaduk emosi pembaca. Sedikit iseng, aku malah berkeinginan membuat karakter yang akan disayangi pembaca lalu karakter tersebut akan kukirim ke akhirat setelah para pembaca sudah jatuh hati. Itu skema ‘jahat’ awalku. Akan tetapi, semakin aku beranjak dewasa, aku mulai kehilangan arah dalam melangkah. Salah satunya adalah dalam hal tulis menulis. Berhubung unggahan ini bukan artikel terstruktur, mari kita ngalor-ngidul sedikit. Kemarin malam, aku menelepon Afifah, salah satu bestie kuliahku. Aku mencurahkan kegalauanku padanya. Kubilang kalau aku tidak tahu sebenarnya aku ditakdirkan untuk jalan hidup yang seperti apa. Pikiran tersebut terlintas kala aku menemukan akun media sosial anak-anak muda yang bisa melanglang buana kemana saja. Anak-anak muda ini bersekolah di luar negeri atau mendapatkan pekerjaan keren (mungkin ra

Life Updates

Gambar
 Assalamu’alaikum, Folks! Walaupun rasanya sudah lama banget aku enggak mengurus blog ini, ternyata pada tahun 2021 saja aku sampai mengunggah lima postingan! Memang tidak rutin, sih, tapi cukup mengejutkan karena kukira Cheapmangoes sudah terbengkalai hehe. Sebenarnya sejak pertama kali membuat blog sejak tahun 2017, aku rajin menulis konten setiap tahunnya. Akan tetapi, banyak unggahan yang sudah kuhapus karena terlalu sentimental, vulnerable, dan miserable . Terutama postingan di tahun 2019 – tahun saat aku mengalami kecemasan parah yang mengganggu aktivitas organisasiku – dan tahun 2020 – pergulatanku dengan skripsi. Aku sudah punya reputasi sebagai si cengeng, bisa tambah parah imejku kalau cerita mewek turut menghiasi laman blog. Pada tahun 2021 sebenarnya aku punya beragam ambisi dan visi untuk Cheapmangoes, seperti menjadikannya blog yang khusus membahas literasi, gaya hidup, bahkan tempatku menuangkan opini-opini serius yang kumaksudkan untuk dibaca orang. Hanya saja semak

Skripsi

Ketika mencari narasumber untuk keperluan skripsi, aku belajar bahwa penolakan bukan kegagalan, tapi belokan tajam menuju tujuan akhir. Kalau aku tidak memulai karena takut salah, aku tidak akan pernah menginjakkan kaki di garis finish . Tidak ada satupun narasumber di skripsi finalku yang sesuai dengan daftar yang kurencanakan di awal. Walaupun begitu bukan berarti skripsiku gagal. Apa yang kuinginkan tapi tidak kudapat ternyata diganti dengan yang lebih baik di akhir. Narasumber yang menolak diwawancarai karena merasa tidak sesuai dengan topik skripsiku turut memberikan rekomendasi dan mengarahkan siapa yang lebih cocok. Dari pengalaman tersebut aku belajar bahwa jangan sampai rasa khawatir menghalangi langkah kita. Seiring dengan perjalanan yang kita tempuh, akan ada banyak rintangan dan tidak jarang hambatan yang memaksa kita untuk merombak rute awal. Pada akhirnya semua kesulitan itu, yang mungkin pada saat terjadi nampak hanya merugikan dan tiada manfaatnya, akan mengantarkan kit

Don't Take Things Too Personally

Sehabis nonton video Anna Akana yang judulnya "How to Not Care What People Think", aku teringat satu contoh konkret seseorang yang projecting banget di media sosial. Projecting yang kupahami dan kugunakan di sini adalah ketika seseorang memproyeksikan dirinya sendiri, pengalaman pribadi atau bahkan ketidaksukaannya pada suatu aspek dalam dirinya sendiri (yang sebenarnya tidak ia sadari) ke pernyataan atau sikap orang lain. Hasilnya dia akan merasa dirinya diserang oleh pernyataan dan sikap tersebut walaupun maksud orang lain tidak demikian. Seringnya projecting ini enggak begitu kelihatan atau disadari oleh orang lain. Tapi dalam kasus satu ini, projecting -nya jelas terlihat karena suatu pihak merasa tersinggung terhadap suatu pernyataan yang sebenarnya kalau ditelaah secara objektif juga tidak begitu nyambung (menurutku). Suatu akun publik mengunggah tulisan yang isinya mengingatkan supaya kita hati-hati ketika ingin melabeli sesuatu sebagai hal yang " toxic ." Te

Review Webtoon: The Real Lesson, Jalan Tengah Hukuman Fisik pada Murid

Gambar
  REVIEW WEBTOON: THE REAL LESSON Banner Webtoon The Real Lesson Topik mengenai kekerasan dalam dunia pendidikan, terutama yang dilakukan oleh pendidik terhadap siswa, sering menjadi perbincangan yang menghasilkan pihak pro dan kontra. Berhubungan dengan topik tersebut, aku ingin merekomendasikan sekaligus membahas webtoon berjudul The Real Lesson . (Perlu diingat bahwa saat reviewer menulis ini, The Real Lesson baru mencapai episode 16). The Real Lesson adalah terbitan terbaru YLAB (yang nerbitin Study Group dan webtoon-webtoon bertema aksi) dan ditulis oleh Chae Yongtaek (penulis Reawaken Man ). Sinopsisnya berbunyi, " Setelah undang-undang larangan memukul para siswa disahkan, semakin banyak siswa yang seperti preman. Suatu hari, seorang laki-laki yang kuat muncul dan menghajar para preman sekolah tersebut. Sebenarnya siapa laki-laki itu?!” Di episode 1 diberikan prolog yang memberi gambaran dari situasi latar cerita. Prolognya akan kutulis untuk membantu mereka yang b