Don't Take Things Too Personally

Sehabis nonton video Anna Akana yang judulnya "How to Not Care What People Think", aku teringat satu contoh konkret seseorang yang projecting banget di media sosial. Projecting yang kupahami dan kugunakan di sini adalah ketika seseorang memproyeksikan dirinya sendiri, pengalaman pribadi atau bahkan ketidaksukaannya pada suatu aspek dalam dirinya sendiri (yang sebenarnya tidak ia sadari) ke pernyataan atau sikap orang lain. Hasilnya dia akan merasa dirinya diserang oleh pernyataan dan sikap tersebut walaupun maksud orang lain tidak demikian.

Seringnya projecting ini enggak begitu kelihatan atau disadari oleh orang lain. Tapi dalam kasus satu ini, projecting-nya jelas terlihat karena suatu pihak merasa tersinggung terhadap suatu pernyataan yang sebenarnya kalau ditelaah secara objektif juga tidak begitu nyambung (menurutku).

Suatu akun publik mengunggah tulisan yang isinya mengingatkan supaya kita hati-hati ketika ingin melabeli sesuatu sebagai hal yang "toxic." Terkadang, kalau segala hal di sekitar kita nampak toxic, bisa jadi yang perlu dibenahi justru adalah diri kita sendiri. Entah sikap atau mindset kita dalam memandang masalah. Layaknya opini manapun, tulisan tersebut menuai respon pro dan kontra. Tapi ada satu respon kontra yang kuingat jelas sampai sekarang, selain karena kontennya, juga karena cara penyampaiannya yang bagiku ngegas seperti orang baru belajar naik motor. Inti dari respon yang diketik rada panjang kali lebar tersebut adalah: "By saying this, you're invalidating those who grow up in broken home situations and have toxic parents!!" ("Dengan nulis kayak gini, lu berarti menafikan pengalaman orang-orang yang tumbuh di keluarga broken home dan punya orang tua toxic!!") Maksudnya karena secara tidak langsung, menurut netizen yang kontra ini, si penulis bilang bahwa toxicity datang dari dalam diri sendiri dan bukan dibawa lingkungan sekitar.

Walaupun aku bisa memahami maksud dan darimana perspektif tersebut bisa muncul, kalau coba dihubungkan dengan konteks pengingat yang disampaikan tadi... sejujurnya menurutku agak maksa ya. Dan ternyata yang berpikir demikian bukan aku saja, karena beberapa pihak pun mengutarakan kebingungan mereka pada komentar kontra tersebut.

"Hah, apa sih..."

"Bukan begitu kali maksudnya."

"We are sorry to hear that you've been going through those hard times (Kami prihatin atas pengalamanmu melalui masa-masa sulit tersebut), tapi maksud dari pengingat ini bukan untuk menyindir mereka yang broken home, tapi ngingetin orang-orang yang kebablasan nganggep sekitarnya toxic padahal sendirinya yang toxic..." Dan respon-respon lainnya yang sejenis maupun yang mendukung si empunya opini kontra tadi.

Aku tidak akan berkomentar lebih lanjut terhadap contoh kasus ini. Aku justru menjadikannya sebagai pengingat karena aku yakin aku juga pasti pernah merasa sewot dengan cara berpikir orang lain yang menurutku "menyerangku" walaupun saat dipikirkan baik-baik sebenarnya tidak ada unsur menyinggung apapun. Aku tidak bilang bahwa kita harus terbebas sepenuhnya dari tabiat projecting saat merespon pendapat orang lain, karena pada akhirnya cara berpikir kita akan dipengaruhi oleh pengalaman hidup kita masing-masing. (Kalau kata Isti, apa yang kita baca dan kita dengar akan menentukan perbedaan pandangan kita dengan orang lain. And it's okay, karena setiap orang akan membaca dan mendengar dari sumber yang berbeda-beda sepanjang hidup mereka). Meski demikian, aku menulis ini sebagai pengingat pribadi bahwa tidak semua pendapat orang yang dilontarkan pada kita benar-benar murni tentang diri kita, karena kemungkinan besar ada bagian dari diri mereka yang ikut tersampaikan melalui pendapat tersebut. Don't take things too personally, kalau kata orang bijak yang seringkali ditulis sebagai anonim.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah Kita Bersimpati Pada Seseorang Tanpa Menyetujui Tindakannya?

Jika Tak Memiliki Bakat Menulis, Untuk Apa Mengangkat Pena? (1)

Review Webtoon: The Real Lesson, Jalan Tengah Hukuman Fisik pada Murid